Tentang Menjadi Pekerja IT Perempuan

Ingin mendapatkan tool dan tutorial pemrograman gratis? Kunjungi Intel Developer Zone http://sh.teknojurnal.com/witidz


Entah apa persisnya yang menginspirasi saya untuk berkuliah di jurusan Information Technology (IT). Dipikir-pikir, mungkin satu hal yang menjadi insentif bagi saya adalah kesukaan saya untuk membuat sesuatu. Tidak ketinggalan keengganan saya akan pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya administratif dan repetitif. Tetapi lama setelah saya meninggalkan perguruan tinggi, barulah saya sadari betapa beruntungnya saya telah membuat pilihan hidup itu. Dunia IT sedang bergeliat dengan bergairahnya dan tidak menunjukkan tanda akan berhenti. Di masa di mana Sillicon Valley adalah Hollywood yang baru, orang-orang dengan kemampuan IT bukan hanya dicari, namun diperebutkan! Kabar mengenai lowongan kerja IT seperti tidak habis-habisnya saya jumpai setiap hari, seolah perusahaan-perusahaan ini tidak terpengaruh iklim ekonomi yang lesu. Paket remunerasi yang ditawarkan tentunya menggiurkan, demi untuk “menggoyang iman” para pekerja IT yang sedang bekerja di perusahaan lain. Singkat kata, abad ke-21 sejauh ini telah dan masih menjadi masa yang baik untuk menjadi orang IT.

Sedikit latar belakang pendidikan saya. Empat tahun berkuliah di Bandung. Bukan, bukan ITB. Walau begitu ijinkan saya untuk menyombongkan diri bahwa saya juga diterima di Sekolah Teknik Elektro dan Informatika ITB, namun tidak memilihnya untuk suatu alasan tertentu. Semasa kuliah, walau kadang motivasi pasang-surut, menyelesaikan studi dengan baik bukan masalah buat saya. Memang kemampuan programming saya pada saat itu tidak bisa dibilang sangat cemerlang, lain halnya dengan beberapa mahasiswa lelaki yang menonjol di kelas di setiap mata kuliah yang melibatkan programming. Beberapa memang kelihatan sudah tak asing dengan dunia programming, sementara saya baru memulai di perguruan tinggi. Namun saya menaruh bangga pada kenyataan bahwa setiap ada tugas programming, saya selalu mengerjakannya sendiri (bukan rahasia bahwa urusan salin-mensalin tugas programming di jurusan IT adalah lumrah). Dari sana, perlahan kepercayaan diri saya memupuk.

Akhir tahun 2010 saya lulus kuliah. Berselang kurang dari sebulan sejak kelulusan, saya telah mengamankan pekerjaan sebagai programmer di dua perusahaan konsultan IT. Memilih salah satu, saya memulai karir di dunia mobile apps development; satu pilihan yang lagi-lagi saya syukuri sampai saat ini. Sebagai fresh graduate yang tidak tahu apa yang dapat diekspektasi dari pekerjaan pertamanya, saya belajar, beradaptasi, dan mengamati. Satu hal yang tidak luput dari pengamatan saya adalah sedikitnya jumlah perempuan di divisi pengembangan di perusahaan itu. Dari satu lantai divisi pengembangan, hanya ada sekitar 5 orang programmer perempuan termasuk saya, dari total sekitar kurang-lebih 40 orang.

Menjadi satu dari sedikit dan mendapatkan sorotan perhatian, mudah untuk berpikir bahwa hal tersebut adalah hal yang menguntungkan. Di sebuah event Hackathon yang saya hadiri bersama dua teman saya—dan akhirnya kami menangkan untuk kategori yang kami pilih—teman saya berujar bahwa saya adalah satu-satunya perempuan yang visible di sana. Saya merasa spesial karena tidak banyak perempuan bekerja menjadi programmer. Pada saat itu, ya saya berpikir demikian. Tapi fast-forward ke beberapa job kemudian, di mana pola tersebut terus berulang di perusahaan-perusahaan lain tempat saya pernah bekerja, saya belajar bahwa itu bukan hal yang positif. Rendahnya persentase perempuan berarti minimnya representasi. Minimnya representasi dapat menimbulkan potensi ketidakseimbangan posisi perempuan di perusahaan.

Berdasarkan pengamatan saya, selain faktor sedikitnya perempuan yang memulai karir sebagai praktisi IT, disparitas gender di IT juga disebabkan oleh tingginya angka drop out di kalangan praktisi IT perempuan. Sepanjang karir, saya sudah menjumpai setidaknya empat orang perempuan yang awalnya adalah programmer namun memutuskan untuk pindah haluan kemudian. Jika harus membuat perkiraan kasar, mungkin tidak lebih dari lima belas kolega perempuan di IT yang pernah saya miliki. Empat dari lima belas adalah angka yang besar. Pengalaman saya sendiri, pernah seorang mantan kolega bertanya mengenai pekerjaan saya pada saat itu, yang ia pikir adalah suatu pekerjaan lain yang tidak ada hubungannya dengan IT. Entah apa itu prasangka saya, bagi saya pertanyaannya seolah mengisyaratkan bahwa jika saya berhenti dari pekerjaan IT, itu sudah diperkirakan.

Jika Anda terheran-heran atau tidak percaya, dapat saya yakinkan bahwa tidak ada asap tanpa api. Segala sesuatu ada sebabnya. Di sinilah menurut saya permasalahan di bidang IT di Indonesia, dan negara-negara Asia lain pada umumnya, yakni ketiadaan kesadaran bahwa ada sesuatu yang salah. Di Amerika Serikat, angka representasi perempuan di pekerjaan teknis IT juga masih rendah. Akan tetapi di sana, permasalahan tersebut setidaknya sudah menjadi masalah, problem yang harus dicari jalan keluarnya. Telah banyak artikel ditulis, diskusi diadakan untuk membahas diskrepansi jumlah perempuan dibandingkan laki-laki di industri IT di Amerika Serikat, yang berujung mulai bekembangnya inisiasi digerakkan untuk mengatasi hal tersebut. Tidak begitu halnya di sini. Kita bahkan belum sampai di tahap dasarnya: pengidentifikasian masalah. Dari membaca artikel-artikel tersebut, saya sadar bahwa problematika yang sama juga terjadi di sini. Memang bukan permasalahan yang sederhana; penjelasan mengenai hubungan sebab-akibat yang ada pun beragam. Namun dapat ditarik benang merah dari berbagai penjelasan bahwa akar permasalahan terletak pada kurangnya dukungan bagi perempuan untuk mengejar karir di bidang IT. Sebagai contoh, stereotip yang berlaku di masyarakat mengatakan bahwa pekerjaan IT (dan engineering pada umumnya) adalah ranah laki-laki. Stereotip tersebut membuat perempuan tidak berani memilih IT sebagai jurusan kuliah atau pilihan karir karena kurang percaya diri akan kemampuannya.

Sementara penjelasan untuk rendahnya retensi perempuan di industri IT yang banyak dibahas di AS adalah lingkungan kerja yang hostile, tidak ramah kepada perempuan. Jika Anda termasuk salah satu yang berpendapat bahwa hal tersebut adalah mengada-ada, mungkin Anda “berdiri” terlalu jauh atau tidak melihat dengan seksama. Seksisme tidak melulu lugas dan kasat mata. Seksisme ada di kata-kata yang innocent, di makna yang tersirat, dan hal-hal kecil yang menumpuk dan akhirnya menyerang alam bawah sadar kita. Saya masih ingat suatu pagi pada daily scrum meeting di perusahaan lama, setelah saya memilih satu kertas Post-It yang berisi task, giliran teman saya melakukannya. Setelah dia melakukannya, seorang teman berceloteh, “Masak kalah sama cewek. Ngambilnya task yang gampang.” Hal itu mengganggu saya, bahkan sampai saat ini.

Rendahnya persentase perempuan di IT dapat membuat perempuan yang terlibat di dalamnya merasa invisible, teralienasi. Satu fenomena yang populer di industri IT adalah “bro culture” atau “brogrammer”, istilah yang menggambarkan perkongsian yang tidak sehat di kalangan laki-laki di industri IT. Orang-orang yang terlibat di dalamnya membuat suatu pertemanan yang eksklusif, obrolan mereka penuh dengan guyonan yang hanya mereka yang mengerti, dan sering kali bermuatan seksual yang membuat perempuan di sekitarnya merasa tidak nyaman dan tidak diikutsertakan.

Isu-isu tersebut di atas perlu lebih banyak dibahas di kalangan pekerja IT di Indonesia. Jangan sampai kita cuma berangan-angan agar lebih banyak perempuan masuk ke industri IT tanpa mengerti masalah dan hambatan sebenarnya, karena memahami permasalahan adalah separuh dari solusi.

Terlepas dari keluhan saya mengenai sulitnya menjadi perempuan di dunia IT, tidak pernah saya menyesal telah memilihnya. IT telah memberi banyak untuk saya, misalnya dalam hal finansial, fleksibilitas waktu kerja, akses ke informasi yang luas, dan stimuli otak yang menyegarkan. Saya berharap agar lebih banyak lagi perempuan yang dapat memperoleh hal yang sama.

Intel RealSense

Leave a comment